Blog Archive

Sunday, February 21, 2010

Penalaran kasus pembajakan dalam industri musik

Indonesia dan musik bajakan. Sepertinya dua kata ini sulit dipisahkan satu sama lain. Selain China, negara kita memang punya sejarah yang cukup panjang dalam hal ini, baik dalam konteks yang positif maupun negatif.

Dulu, pada pertengahan 1980-an musisi tenar asal Irlandia, Bob Geldof sempat marah kepada pemerintah Indonesia karena dianggap membiarkan pembajakan merajalela. Geldof meradang karena versi bajakan rekaman konser Live Aid—yang ditujukan untuk menghimpun dana bagi bencana kelaparan di Ethiopia, Afrika—sudah langsung tersedia dan dengan bebasnya dijual di Indonesia, hanya dalam hitungan beberapa bulan setelah konser itu digelar.

Geldof menuduh Indonesia sebagai negara pengekspor—setidaknya 1,5 juta kaset bajakan Live Aid—ke Asia, Timur Tengah, hingga Italia. Saking marahnya, ia lalu melancarkan kampanye besar-besaran anti-Indonesia dengan menyerukan supaya turis tidak lagi datang ke negeri ini. Khawatir dengan dampaknya, akhirnya pemerintah merespons desakan Geldof.

Setelah dua dasawarsa lebih berlalu, upaya pemberantasan musik bajakan di negara kita belum banyak mengalami kemajuan. Di berbagai sudut kota, dengan mudah kita bisa melihat album musik bajakan dijajakan secara bebas, baik di kios mal yang ber-AC, hingga di lapak-lapak di emperan jalan. Beberapa di antaranya bahkan terletak hanya beberapa langkah saja dari pos polisi.

Ini tentu masalah. Pembajakan tak hanya mengancam industri lagu Barat, tapi juga bisa menghancurkan industri musik lokal. Kenapa? Musik legal tak akan pernah mampu bersaing dengan musik bajakan. Bayangkan, dengan membayar Rp 8 ribu saja saat ini kita bisa memperoleh cakram berisi sekitar 50 – 100 file lagu MP3 bajakan. Bandingkan dengan CD legal yang harganya di atas Rp 75.000 dan hanya berisi jumlah lagu 10 – 20 persennya saja. Mirisnya lagi, iPod atau pemutar musik lain di Indonesia rata-rata juga diisi konten bajakan, karena toko musik online yang legal belum ada di sini.

Akibatnya, tak sulit ditebak, penjualan musik legal dalam bentuk CD dan kaset terus menurun. Bila di tahun 1997 penjualan CD dan kaset legal berkisar sekitar 90 juta, pada 2008 angkanya anjlok hingga 11 juta saja. Bahkan, menurut data Asosiasi Industri Rekaman Indonesia (ASIRI), pada 2007 porsi penjualan musik ilegal mencapai 95.7 persen.
Melihat kondisi itu, kerjasama label musik dengan operator telekomunikasi, bisa menjadi salah satu jawaban dari persoalan itu, dengan menyediakan mekanisme jual beli musik dan cara pembayaran yang valid.

dikutip dari : http://aninbakrie.com/?p=378

No comments:

Post a Comment