1
Hak Cipta dalam Industri Musik Daerah
Oleh : R. Muhammad Mulyadi S.S.,M.Hum
Perkembangan industri musik di berbagai daerah di Indonesia pada saat ini
telah menunjukkan perkembangan yang menggembirakan. Hasil penelitian yang
dilakukan oleh tim penelitian industri budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan
Budaya Universitas Indonesia (tahun 2006 berada di bawah naungan Fakultas Ilmu
Budaya UI) selama tahun 2003-2007 telah menunjukkan bahwa di berbagai daerah di
Indonesia telah tumbuh industri musik dalam skala lokal. Beberapa daerah yang
dijadikan tempat penelitian selama tiga tahun tersebut meliputi; Jakarta, Bandung,
Surabaya, Yogyakarta, Bali, Menado, Kupang, Medan, Makasar, dan Padang.
Dalam tulisan ini, pengertian industri musik di daerah adalah suatu produk
musik yang diproduksi di berbagai daerah di Indonesia. Produknya dapat berupa
musik tradisi lokal dan musik pop lokal maupun musik pop nasional. Musik tradisi
lokal menggunakan alat musik tradisional (pentatonis) maupun alat musik modern
(diatonis) yang mengkorvesi nada bunyi musik tradisi. Dalam musik tradisi lokal
bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah setempat.
Dalam musik pop lokal, pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan genre
musik nasional ada irama dangdut bahkan juga rock. Alat musik yang digunakan
juga sama dengan alat musik yang digunakan pada alat-alat musik pop nasional,
yaitu alat musik diatonis. Pemakaian bahasa merupakan ciri utama yang
membedakannya dengan musik nasional. Apabila musik nasional menggunakan
bahasa Indonesia dalam lirik lagunya, maka musik pop daerah menggunakan bahasa
daerah setempat dalam lirik lagunya. Pembedaan lainnya antara musik daerah dan
musik nasional adalah adanya dominasi sisipan-sisipan bunyi alat musik tradisional
dalam musik pop lokal.
Pembedaan ini perlu dikemukakan dalam tulisan ini, mengingat selain
industri musik lokal, di berbagai daerah di Indonesia pun telah lama menjadi pasar
industri musik nasional. Apabila dikaitkan dengan judul tulisan, maka permasalahan
2
hak cipta yang dibahas adalah yang menyangkut industri musik lokal. Bukan industri
musik nasional di daerah.
Pelanggaran hak cipta dalam industri musik lokal
Pelanggaran hak cipta dalam industri musik lokal dapat diidentifikasi
berdasarkan beberapa cara. Berikut ini akan dipaparkan berapa cara yang umum
dilakukan dalam pelanggaran hak cipta industri musik lokal:
· Pertama, membajak dalam bentuk merekam langsung dari tv
kemudian diubah ke dalam format vcd untuk diperjualbelikan di
tempat-tempat umum. Cara kerja pembajakan ini cukup popular di
berbagai daerah, seiring dengan berkembangnya stasiun-stasiun tv
lokal. Kasus dengan modus operandi yang juga berlaku dalam industri
musik nasional ini, terutama dapat ditemukan di wilayah Bali,
Surabaya, dan Bandung. Untuk wilayah Bali, hal itu dimungkinkan
dengan adanya program siaran khusus lagu-lagu Bali secara teratur di
Bali TV. Selain itu terdapat pula selingan-selingan pada pergantian
berbagai acara tv ataupun adanya penayangan iklan musik lokal. Pada
kasus di Surabaya dimungkinkan dengan adanya penayangan dalam
selingan acara maupun pemasangan iklan di Jawa TV. Sementara
pada kasus di Bandung pembajakan musik lokal dimungkinkan terjadi
karena adanya siaran-siaran musik lokal di TVRI stasiun Bandung.
· Kedua, merekam dari vcd asli ke dalam format vcd. Beberapa daerah
penelitian memang telah menghasilkan produk-produk industri musik
lokal dalam format vcd. Hal itu dimungkinkan dengan pemanfaatan
teknologi yang semakin familiar karena semakin mudah dipelajari dan
murah. Sehingga dengan handycam yang penggunaannya semakin
memasyarakat dan dibantu seperangkat komputer maka telah dapat
diproduksi vcd musik lokal. Akan tetapi, pada sisi lain pemanfaatan
teknologi komputer yang semakin familiar juga telah dimanfaatkan
oleh para pembajak dengan cara meng- copy produk-produk asli ke
dalam disk kosong untuk kemudian menjualnya ke pasaran.
3
· Ketiga, merekam dari vcd kemudian diubah ke dalam bentuk mp3 dan
diperjualbelikan ke pasaran. Produk-produk dalam format mp3 sangat
digemari konsumen karena merekam banyak lagu dalam satu keping
cakram (disk) dan murah harganya. Jumlah lagu yang terdapat dalam
setiap keping mp3 minimal berjumlah 40 lagu. Oleh karena dapat
merekam banyak lagu, maka dalam produk bajakan dengan format
mp3 biasanya terdapat lebih dari dua album produk asli yang dibajak.
Pada kasus industri musik di daerah terdapat produk mp3 bajakan
yang merupakan campuran dari album pop lokal dan pop nasional.
· Keempat, dari kaset kemudian diubah ke dalam bentuk vcd. Dalam
penelitian, cara seperti ini hanya terjadi satu kasus saja yaitu di
Pontianak. Seperti diketahui bahwa kaset hanya menyajikan sisi audio
saja, sementara vdc bersifat audio visual. Untuk mengisi ruang visual
tersebut pembajak mengambil gambar apa saja. Dalam kasus-kasus
produk industri musik nasional biasanya pembajak akan mengambil
gambar penyanyi yang bersangkutan ketika melakukan pertunjukan di
tv-tv nasional. Meskipun lagu dan penampilan tidak nyambung, lagu
yang berada di format vcd bajakan bukan lagu yang dinyanyikan
ketika penyanyi tersebut tampil di tv. Dalam kasus di Pontianak si
penyanyi yang dibajak tidak pernah melakukan pertunjukan untuk
program tv dan tidak memproduksi vcd. Oleh karena tidak ada
gambar si penyanyi, si pembajak kemudian menempatkan film Folra
dan Fauna1 dalam vcd bajakan tersebut.
· Kelima, mengubah lagu atau karya musik. Dalam hal ini ada dua
penyebabnya, pertama si pencipta lagu mengadaptasi lagu-lagu karya
orang lain tanpa izin. Kedua, disebabkan adanya campur tangan
produsen yang menginginkan produknya laku di pasaran tanpa
memperdulikan hak cipta. Campur tangan produser dalam
menentukan suatu produk rekaman terutama berlaku pada artis atau
1 Folra dan Fauna, suatu acara mengenai dokumentasi tumbuh-tumbuhan dan hewan, yang pernah
ditayangkan di TVRI
4
grup band yang dikontrak oleh produser rekaman. Hal ini dikarenakan
musik yang dibuat harus berdasarkan orientasi pasar sang produser.
Menurut salah seorang nara sumber, beberapa produser melakukan
cara apapun untuk memperoleh keuntungan sebanyak mungkin.
Misalnya sampai saat ini masih ada produser di Bali yang mengambil
beberapa lagu Mandarin, dan dibebankan kepada musisi untuk diganti
kata-katanya, lalu lagu tersebut diganti nama penciptanya dan
kemudian dinyanyikan oleh seorang penyanyi terkenal, iramanya
Mandarin tapi bahasanya bahasa Bali. Demikian juga dengan lagu
dangdut SMS yang diproduksi oleh sebuah perusahaan rekaman di
Sumatra Barat. Adalah suatu lagu yang mengadaptasi lagu India.
· Keenam, merekam gambar pada saat pertunjukan berlangsung.
Pengambilan bukan berasal dari tv tetapi langsung dari tempat suatu
pertunjukan berlangsung. Biasanya diambil melalui alat rekam yang
sederhana saja (handycam). Hasil rekaman tersebut kemudian dijual
dalam bentuk vcd. Dalam format vcd bajakan tersebut, gambar yang
dilihat dapat berupa pertunjukkan langsung dari artis atau grup band
yang direkam, bisa juga diisi dengan lagu lain. Artinya gambar
berasal dari pertunjukkan secara langsung tetapi lagunya adalah lagu
yang lain yang tidak dinyanyikan di pertunjukkan tersebut.
Selain itu, ada juga bentuk-bentuk pelanggaran hak cipta lainnya. Dalam hal
ini adanya penggunaan lagu-lagu untuk nada dering maupun nada panggil yang
digunakan pada handphone tanpa izin. Akan tetapi, kasus ini tidak banyak dijumpai
di wilayah-wilayah yang diteliti.
Fenomena yang paling umum ditemui dalam industri musik lokal adalah
adanya produk legal tetapi tidak sah2. Produk industri musik dibuat secara benar,
artinya tanpa melakukan pembajakan atau pelanggaran karya cipta, tetapi tidak
mempunyai izin produksi maupun izin penjualan dari departemen perindustrian,
2 Penulis belum menemukan istilah yang tepat untuk menerangkan fenomena ini.
5
keuangan, atau kehakiman.
Kenapa Pelanggaran Hak Cipta Muncul?
Dari hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa permasalahan
mengenai hak cipta sangat beragam, ada yang menunjukkan persamaan dengan
situasi dan kondisi industri musik nasional dan ada pula yang menunjukkan kondisi
setempat yang unik. Seperti halnya pada situasi dan kondisi industri musik nasional,
pada kondisi industri musik lokal pun ada pihak-pihak yang merasa diuntungkan dan
ada pihak yang dirugikan.
Pihak pertama yang mendapat keuntungan dari produk bajakan adalah para
pembajak. Secara ekonomis pelaku pembajakan mendapatkan keuntungan yang
paling besar, karena tanpa susah payah dapat menjual karya orang lain. Si pembajak
tidak terlibat dalam proses panjang pembuatan suatu produk album musik yang
meliputi perencanaan, pengadaan lagu, pencarian penyanyi, dan proses perekaman
yang memakan waktu panjang. Dari segi biaya, si pembajak juga sangat
diuntungkan. Karena tidak perlu membayar penyanyi, musisi, pencipta lagu, biaya
iklan; kemudian tidak membayar pajak dan dijual di emperan yang juga tidak bayar
pajak.
Sementara dari sisi konsumen, ada yang dirugikan dan diuntungkan.
Konsumen yang dirugikan adalah konsumen yang membeli dengan harga barang asli
(original) tetapi pada kenyataannya mendapatkan barang bajakan. Sedangkan
konsumen yang diuntungkan adalah konsumen yang memang secara sadar
menghendaki barang bajakan. Hal itu disebabkan harga yang jauh lebih murah, tanpa
memperdulikan kualitas produk. Dalam industri musik pada umumnya, konsumen
yang secara sadar membeli produk bajakan adalah target marketing yang utama bagi
pembajak. Konsumen tersebut pada umumnya adalah masyarakat kelas menengah
bawah yang memerlukan hiburan dengan biaya murah. Pertautan antara produsen
dan konsumen tersebut menjadi salah satu sebab maraknya pembajakan dalam
industri musik lokal.
Selain itu penyebab maraknya produk bajakan dalam industri musik lokal
adalah lemahnya pengawasan aparat (dalam hal ini kepolisian). Pembajakan
6
menyangkut perkara pidana dengan bentuk delik umum. Artinya pihak kepolisian
tidak perlu menunggu pengaduan masyarakat korban pembajakan, melainkan harus
aktif mencegah dan memberantas pembajakan. Akan tetapi, tidak demikian dengan
yang terjadi di berbagai daerah yang diteliti. Pada umumnya keberadaan pembajak
tidak tersentuh hukum, dengan demikian para pedagang produk bajakan dengan
leluasa menggelar dagangannya secara terbuka. Seperti di Pasar Genteng di
Surabaya, Pasar Kota Kembang, Cicadas, dan Tegalega di Bandung, berbagai pasar
tradisional di Bali, serta pasar Tanjungpura dan jalan Dipenogoro di Pontianak
adalah surga bagi pembajak dan peminatnya. Bahkan di kota Singkawang banyak
dijumpai toko-toko yang menjual album-album bajakan secara terbuka, toko-toko
tersebut seperti toko-toko kaset yang menjual album resmi dan legal. Operasi-operasi
pemberantasan pembajakan hak cipta hanya dilakukan di beberapa wilayah saja di
Indonesia, seperti Jakarta dan Bandung. Sedangkan di wilayah lainnya tidak pernah
diadakan operasi pemberantasan album-album rekaman bajakan.
Bahkan yang lebih tragis adalah adanya dugaan bahwa aparat melindungi
pembajak, seperti yang terjadi di Surabaya. Menurut salah seorang informan, setiap
perusahaan rekaman di Surabaya diharuskan membayar upeti sebanyak 40 juta setiap
bulannya. Dengan uang upeti sebanyak itu, dijamin tidak akan ada gangguan dari
aparat kepolisian. Aparat kepolisian justru akan bertindak untuk melakukan operasi
pembajakan terhadap perusahaan rekaman yang tidak membayar upeti. Meskipun itu
perusahaan rekaman yang tidak memproduksi produk bajakan.
Sementara itu, pembajakan yang dilakukan di Bali diduga melibatkan orang
dalam di perusahaan rekaman sendiri, gejalanya adalah album rekaman legal belum
diedarkan secara resmi tetapi produk bajakannya sudah beredar luas. Menurut salah
seorang informan, ada kemungkinan perusahaan rekamannya yang membajak dirinya
sendiri supaya tidak bayar pajak. Kemungkinan lainnya perusahaan rekaman
bekerjasama dengan pembajak. Kedua modus operandi tersebut dilakukan dengan
maksud memangkas biaya produksi.
Di Bali jaringan pembajak itu cukup kuat sehingga bisa bargaining dengan
produser. Misalnya Z Record akan mengeluarkan album rekaman, maka dia akan
mendatangi atau mengundang pembajak untuk memproduksi album rekaman resmi
7
tersebut dalam bentuk bajakannya. Selain memangkas biaya seperti yang telah
diuaraikan di atas, hal tersebut juga merupakan suatu kiat pemasaran. Karena dapat
memanfaatkan jaringan distribusi para pembajak sehingga bisa lebih cepat menuju
pasar. Apabila dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, maka peredaran album
rekaman harus menunggu beberapa waktu lagi untuk diluncurkan karena harus
menunggu izin produksi dari pihak terkait. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa
jaringan distribusi pembajak dapat memangkas waktu tempuh menuju pasar suatu
produksi album rekaman. Adanya kerjasama produser rekaman dengan pembajak,
merupakan suatu pola yang nampaknya umum karena di dalam industri musik
nasional pun terjadi seperti itu.
Satu permasalahan lainnya dalam pelanggaran hak cipta dalam industri musik
lokal adalah kurangnya kesadaran hukum dan akibat pembajakan dari korban
pembajakan itu sendiri. Beberapa korban pembajakan bersikap pasrah karena ketidak
tahuan hukum yang berkenaan dengan hak cipta, bahkan ada juga korban yang
“berterimakasih” kepada pembajak karena sudah dianggap mempromosikan
namanya. Beberapa informan yang menjadi korban pembajakan menyatakan bahwa
masalah hak cipta lebih ke arah pengakuan atas hak cipta bukan masalah uangnya
(economy rights).
Beberapa Upaya Mengatasi Pembajakan
Ketidakjelasan prosedur dan kekurang jelian pemerintah daerah dalam
merespon industri musik di daerah mengakibatkan hilangnya suatu peluang untuk
sumber pemasukan kas daerah dan menunjukkan ketidakpedulian pemerintah daerah
dalam melindungi hak cipta karya-karya musik daerah.
Hambatan dari ketidakadaan label dalam setiap produksi album rekaman
lokal sempat membuat distributor album rekaman resmi menolak mengedarkan
produk tanpa label izin produksi. Baru setelah adanya jaminan bahwa kalau terjadi
sesuatu masalah yang berkaitan dengan hukum maka si produser album rekaman
lokal sendiri yang akan bertanggungjawab, maka beberapa distributor album
rekaman resmi mau mendistribusikannya.
Selain ketidaktahuan prosedur untuk mengesahkan produknya sehingga dapat
8
dijual di pasaran secara resmi, produk-produk bukan bajakan tetapi illegal,
memperlihatkan suatu gejala kekurang tanggapan dari aparat terkait. Misalnya tidak
nampak adanya pendekatan atau sosialisasi kepada para produser-produser musik di
daerah. Kemudian juga lamanya prosedur pengesahan, dalam kasus di Pontianak
lamanya izin industri memakan waktu selama tiga bulan. Ketiadaan label ijin
produksi dan pajak bagi produk album rekaman lokal menyebabkan kesulitan
tersendiri untuk menghadapi pembajakan. Apabila mereka melaporkan produknya
telah dibajak mereka takut mendapat tuduhan balik bahwa produknya juga illegal
berada di pasaran. Dalam hal ini produser produk-produk illegal bukan bajakan
berada dalam posisi yang lemah.
Sementara itu bagi produser produk musik album lokal yang legal yang
pernah menjadi korban pembajakan menunjukkan adanya keengganan untuk
melaporkannya kepada pihak yang berwajib. Karena berdasarkan pengalaman yang
sudah-sudah pihak kepolisian akan meminta uang penyisisran yang tidak sedikit
jumlahnya tanpa jaminan adanya suatu penyelesaian masalah. Dengan melaporkan
kepada pihak yang berwajib mereka akan mendapat kerugian yang lebih besar.
Dengan istilah lain “melapor ke polisis hilang kambing malah akan jadi hilang sapi”.
Demikian pula ketika melapor ke ASIRI, beberapa informan menyatakan tidak ada
tanggapan. Padahal sebagai suatu lembaga yang berkepentingan dengan
pemberantasan pembajak ini seharusnya ASIRI dapat merespon atau bahkan
membantu produser-produser yang legal di daerah. Suatu fenomena memprihatinkan
adalah putus asanya para produser yang legal terhadap upaya-upaya pemberantasan
pembajakan. Upaya pemberantasan pembajak dianggap suatu yang sia-sia. Salah
satunya nampak dari cover album rekaman kaset Genk Cobra, cukup terkenal di
Yogyakarta dan Solo, yang menuliskan “Silahkan dibajak”.
Upaya lain yang dilakukan oleh produser musik lokal adalah dengan
mencoba memberikan sentuhan moral dengan pesan yang dituliskan dalam
produknya. Pesan tersebut seperti “sebagian dari penjualan kaset ini akan
disumbangkan ke yatim piatu”. Hal seperti itu telah dilakukan oleh Jansen record di
Makasar. Meskipun pesan moral tersebut dianggap juga tidak berhasil mengatasi
pembajakan secara tuntas.
9
Cara penyelesaian kasus pembajakan di Pontianak nampaknya sangat unik
dan dianggap berhasil untuk melindungi produk-prodduk industri musik lokal dari
pembajakan. Yaitu dengan cara denda adat, yang melibatkan tokoh-tokoh adat
setempat. Pembajak dan korban dipertemukan oleh para tetua adat, kemudian
disepakati jumlah denda yang harus dibayarkan. Nampaknya proses penyelesaian
dengan cara seperti itu efektif diterapkan di Pontianak. Karena, sejak kasus itu di
Pontianak tidak ditemui lagi kasus pembajakan terhadap produk-produk industri
musik lokal.
Kesimpulan
Tumbuhnya industri musik lokal di berbagai daerah di Indonesia kurang
diimbangi dengan tumbuhnya kesadaran akan hak cipta. Hal ini dimungkinkan oleh
pandangan bahwa industri musik di daerah merupakan industri musik pinggiran yang
tidak memberikan kontribusi yang besar bagi pemerintah. Sehingga tidak secara
khusus mengatur atau membina industri musik lokal. Padahal pemerintah daerah
seharusnya lebih tanggap terhadap munculnya industri musik di daerahnya masingmasing,
terutama mengenai perlunya perlindungan hak cipta bagi pelaku industri
musik. Hal ini tidak hanya disebabkan oleh adanya peluang pendapatan daerah dari
industri musik, melainkan juga sebagai perlindungan kerja kreatif bagi pelaku
industri musik di daerah. Dengan adanya perlindungan hak cipta maka pelaku
industri musik lokal memperoleh manfaat maksimal dari hak ekonomi yang terkait
dengan hak cipta. Demikian juga halnya dengan pemerintah daerah. Selain itu,
bukankah dengan perlindungan hak cipta berarti turut serta melindungi kesenian
setempat?
Pemerintah daerah dapat membantu perlindungan hak cipta bagi para pelaku
industri musik lokal dengan memberikan sosialisasi mengenai hak cipta serta
memberlakukan prosedur perijinan yang pasti dan mudah bagi suatu album rekaman.
Lembaga-lembaga nonpemerintah yang terkait dengan industri rekaman pun
seharusnya lebih tanggap dengan permasalahan-permasalahan musik di daerah,
khususnya yang berkaitan dengan hak cipta. Sosialisasi mengenai hak cipta bagi
pelaku industri musik lokal dan aparat pemerintah daerah terkait nampaknya menjadi
10
“pekerjaan rumah“ yang mendesak untuk dilakukan. Selain itu lembaga-lembaga
nonpemerintah tersebut dapat memberikan advokasi-advokasi bagi pelaku industri
musik lokal dalam menghadapi permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan
hak cipta.
Kekuatan lembaga adat dapat juga dipertimbangkan untuk dilibatkan dalam
sosialisasi maupun menyelesaikan permasalahan-permasalahan hak cipta. Belajar
dari kasus di Pontianak ternyata lembaga adat cukup efektif dalam menyelesaikan
permasalahan hak cipta.
R. Muhammad Mulyadi S.S.,M.Hum
Peneliti Industri Budaya Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas
Indonesia, dosen Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.
11
dikutip dari : http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/padresources/Hak%20Cipta%20dalam%20industri%20musik%20daerah.pdf
No comments:
Post a Comment