Perselisihan antara karyawan dengan manajemen perusahaan tempatnya bekerja kerap kali terjadi. Keinginan pihak perusahaan yang tidak sejalan dengan keadaan karyawan seringkali menjadi pemicu, begitu pun sebaliknya.
Besarnya peranan seorang karyawan dalam suatu perusahaan, maka sudah selayaknya setiap perusahaan dapat memberikan jaminan yang layak bagi karyawannya. Baik itu dalam keselamatan kerja maupun dalam pengupahan. Situasi keterbukaan dan kenyamanan kerja menjadi motivasi sehingga dapat semakin mengembangkan keberadaan perusahaan tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya konflik antar keduanya seringkali terjadi. Komunikasi sebagai pemecahan jalan terbaik bagi keduanya sulit terlaksana. Dalam setiap harinya kami selalu menerima pengaduan dari karyawan, papar Panut perwakilan dari Dinas tenaga kerja Kukar. Sebagian besar delik pengaduan berupa jam lembur dan sistem pembayaran yang tidak tepat waktu dari perusahaan. Namun dengan memfasilitasi pertemuan antar keduanya, yaitu pihak karyawan dan pihak manajemen perusahaan biasanya setiap permasalahan dapat diatasi. Permasalahan yang masuk dapat diselesaikan dengan jalan damai, dengan kesepakatan bersama yang saling menguntungkan, katanya.
Namun untuk kasus yang menimpa Minarsih dan Hengky Syam sedikit berbeda. Keduanya mengadukan nasibnya pada Komisi I DPRD, karena menganggap menerima perlakuan yang tidak adil dari perusahaan tempatnya bekerja. Mereka merupakan karyawan PT Kayan Putra Utama Coal, yang telah bekerja sejak tahun 2000 lalu dan bertugas sebagai juru masak. Namun sejak bulan Agustus tahun lalu mereka dimutasikan dari mess Separi I ke mess Separi II. Karena jarak keduanya jauh maka mereka menolak untuk dipindah dan memilih berhenti bekerja. Dengan meminta pesangon dan sisa pembayaran gaji serta uang lembur yang menjadi hak mereka.
Pihak perusahaan tidak dapat menerima begitu saja, karena menganggap keduanya telah mengkir dari kerjaannya. Dengan alasan ketidakdisiplinan sehingga perlu dibina lebih lanjut. Sebelum mengambil keputusan, terlebih dahulu kami melakukan pembinaan, kata Erwan Agim Direktur PT Kayan Putra. Dengan alasan bahwa masalah kedisiplinan tidak dapat ditolerir maka perusahaan tidak dapat memenuhi sesuai yang diminta keduanya. Selain itu nilai nominal yang diminta dianggap sangat berlebihan.
Permasalahan ini menjadi panjang dan rumit ketika keduanya saling melaporkan pada pihak yang berwenang. Sampai akhirnya masalah ini mendapat putusan P4D (Penyelesaian Perselisihan Permasalahan Perburuhan Daerah) dari propinsi. Namun belum menghasilkan karena keduanya akan meneruskan ketingkat pusat, karena belum mendapatkan keputusan yang sesuai dengan yang diharapkan.
Ketidak sepahaman antar keduanya yang terus berlarut-larut. Maka Komisi I DPRD bersama manajemen perusahaan, Pengadilan Negeri, kepolisian dan Dinas Tenaga Kerja Kukar memfasilitasi pertemuan antar karyawan dan perusahaan untuk dapat diselesaikan secara kekeluargaan. Keduanya memiliki itikat baik untuk dapat menyelesaikan dengan musyawarah, kata Martin Apuy. Maka mengambil jalan tengah yang terbaik bagi keduanya masih terbuka lebar.
Akhirnya penantian panjang Minarsih dan Hengky Syam telah berakhir. Setelah lebih dari delapan bulan berjuang untuk mendapatkan haknya, kesepakatan perdamaian antar keduanya telah disepakati. Tuntutan berupa ganti rugi pesangon, kekurangan gaji dan upah lembur yang diminta dapat dipenuhi perusahaan.
Walaupun tidak sebesar tuntutan semula, namun dengan dipenuhinya hak mereka sebesar Rp 14 juta untuk masing-masing karyawan. Kesepakatan ini membuat lega kedua belah pihak, PT Kayan Putra dengan karyawannya Minarsih dan Hengky. Kami menerima kesepakatan ini, pada dasarnya kami ingin menempuh upaya damai, papar Minarsih. (pwt)
( dikutip dari : http://www.dprdkutaikartanegara.go.id/bacawarta.php?id=436 )
Dari contoh konflik antara karyawan dengan perusahaan diatas, terlihat sekali kurangnya pendekatan individu yang dilakukan oleh perusahaan, kebijakan yang dilakukan perusahaan hanyalah sebelah pihak saja, tanpa ada komunikasi dengan karyawan, sehingga memicu tindak pembangkangan dari karyawan itu sendiri. Saya tidak begitu mengetahui kontrak kerja yang dimiliki antara kedua belah pihak, namun jika kita analisis sepintas dari sudut etika dalam berbisnis, jelas sekali tidak adanya “ Konsekuensi dan Komitmen pada aturan main ”, yang dimaksud disini adalah, jika pada kontrak kerja ditulis bahwa karyawan harus bisa menerima pemindahan tanpa pemberitahuan serta terdapat pasal-pasal serta ayat-ayat dalam kontrak yang mengacu pada kekuasaan mutlak perusahaan, dan karyawan menandatangani kontrak tersebut, maka kesalahan terletak pada karyawan karena ia menolak untuk dipindahkan, padahal secara jelas tertulis dalam kontrak kerja yang telah disepakati. Lain halnya jika pada kontrak kerja, karyawan tidak terikat dan dapat memilih untuk berhenti atau mengikuti kebijakan perusahaan serta terdapat pola dan system pembayaran untuk karyawan yang memutuskan untuk berhenti, maka pihak perusahaan-lah yang bersalah. Menurut saya pada kasus konflik yang saya kutip dari sumber, akar atau pokok permasalahannya adalah tidak adanya komitmen pada kontrak kerja, terlepas apapun isi dari kontrak kerja itu, harusnya kedua-belah pihak menyadari kapasitas masing-masing, sehingga mereka tidak menuntut apa yang bukan menjadi hak mereka.
No comments:
Post a Comment